Rabu, Desember 17, 2008

Belajar Bisnis Selagi Belia

Bicara soal bisnis? Wah, mata Deby (14 tahun), berbinar-binar. Ia mengaku amat menikmati usahanya, berjualan sebuah produk es krim terkenal dari luar negeri. Awalnya, sang ayah melemparkan tawaran sambi lalu. ''Mau nggak, coba-coba cari uang jajan sendiri?'' tanyanya. Mengapa tidak? Remaja bernama lengkap Debora Erliano Yuza ini pun mencoba menawarkannya pada teman-teman dan staf di sekolah, High/Scope Indonesia, Jakarta Selatan. Pelanggan Deby pun berkembang. Seminggu ia bisa menjual sekitar 30 kotak es krim yang harga per kotaknya antara Rp 40 ribu hingga Rp 45 ribu. 

''Papa dan Mama mendukung banget,'' kata remaja yang bercita-cita bergelut di bidang desain itu. Salah satu dukungan ayahnya adalah membelikan freezer untuk menampung dagangan Deby. Sungguh beruntung anak yang mendapat dukungan orang tua seperti Deby. Dukungan orang tua memang penting. Hasil penelitian Marilyn Kourilsky, mantan direktur Center for Entrepreneurial Leadership, AS, menunjukkan, kualitas kewirausahaan yang dimiliki anak semasa kanak-kanak memupus bersamaan dengan bertambahnya usia. Alhasil, perlu dukungan orang tua untuk tetap menghidupkan kualitas itu. 

Dukungan dan fasilitas

Kualitas kewirausahaan tak harus langsung ditunjukkan anak dengan kegemarannya berdagang. Tapi, lebih pada sikap anak sehari-hari seperti mau mengambil risiko,punya kemampuan menyelesaikan masalah secara kreatif, dan mempunyai motivasi internal yang tinggi untuk berhasil. Agar anak bisa mempertahankan kecenderungannya itu hingga dewasa, orang tua harus memberikan dukungannya dan memfasilitas ambisi dan upaya anak.

Saat bagi pengalaman beberapa orang tua murid Sekolah High/Scope Indonesia Vonny Luis dan Daniel Leo, pengusaha Frankfurter hotdog berpendapat, sekolah merupakan tempat anak mendapatkan keterampilan mulai dari matematika, sains, seni, hingga bahasa. Keterampilan ini yang dimiliki anak untuk menciptakan sesuatu. Jadi, dukungan pertama orang tua adalah dengan memberikan anak pendidikan. 

Kemudian, lanjut Vonny, orang tua penting memantau kemampuan dan potensi anak. Setiap anak memiliki sesuatu kemampuan, potensi yang bisa diasah. ''Dia punya apa, sih,'' kata Vonny. Nah, potensi ini bisa diasah dan kemungkinan bisa menjadi bidang usaha anak kelak. ''Tentunya semua tergantung anak sendiri.''

Tahap selanjutnya, orang tua penting memberikan landasan kepercayaan diri yang kuat pada anak. Dunia bisnis yang penuh risiko dan persaingan, membutuhkan manusia yang pede. Keuntungan anak yang lahir dari keluarga pedagang, jelas Vonny, adalah mereka bisa melihat cara kerja orang tua mereka. 

Untuk membuat anak pede, wanita ini menekankan pada cara pengasuhan sejak kecil. Anak mesti dididik untuk tidak takut memulai sesuatu yang nanti tidak diterima. ''Kalau gambarnya dianggap orang jelek, tidak apa-apa. Yang penting, itu hasil jerih payahnya,'' ujarnya mencontohkan. Berbekal rasa percaya diri ini, anak akan berani menampilkan produk-produk kreatif yang mungkin belum pernah ada. ''Mengapa takut gagal? Mengapa takut saingan banyak?'' kata Vonny.

Mengenal nilai uang

Mengajarkan anak tentang nilai uang adalah cara lain untuk membantu menumbuhkan kemampuan kewirausahaan. Salah satu caranya adalah meminta anak bekerja, menghasilkan sesuatu, untuk mendapat uang. ''Kami tidak memberi sesuatu dengan gampang,'' kata Vonny. 

Putri mungilnya yang baru berumur lima tahun, Claudia, mendapat uang sebutlah Rp 20.000 bila mendapat prestasi bagus di sekolah. Uang itu boleh digunakan untuk bermain di Timezone kesukaannya. ''Tapi, jangan dihabiskan semua,'' saran sang ibu, ''Sisakan Rp 5.000 untuk ditabung membeli sesuatu yang diidam-idamkan.''

Dengan adanya tabungan itu, tambah Daniel Leo, suami Vonny, anak akan selalu mempunyai motivasi. Bahkan lebih jauh dari itu. Emmanuel Modu, pendiri Center for Teen Entrepreneurs percaya bahwa ketika anak harus melakukan sesuatu untuk mendapatkan uang, mereka mulai percaya bahwa mereka bisa mengontrol tujuan mereka dan memengaruhi arah tujuan hidup mereka. 

Cara orang tua bisa mengajarkan anak nilai uang yang lain adalah dengan memperlakukan uang mereka dengan hati-hati. Inilah yang menurut pemilik My Salon, Thomas Lie, yang sulit dilakukan para orang tua. ''Orang tua cenderung susah menahan diri untuk tidak memanjakan anak,'' katanya. 

Orang tua sering tak tega bila anak merengek minta mainan seperti yang dimiliki orang lain. Padahal, mainan itu mahal harganya. ''Kita harus keras terhadap anak dan diri sendiri,'' ujar Thomas. Dan, Thomas sudah menerapkan itu pada anaknya yang masih duduk di play group. Bila sang anak minta mainan baru, ia minta mainkan saja mainan yang dimiliki sendiri, jangan selalu ingin mainan yang dimiliki orang lain. Sang anak boleh membeli mainan baru bila mainan lama sudah rusak. ''Anak saya sudah tahu, kalau beli mainan baru cuma boleh satu,'' ungkap Thomas, ''Tapi, konsekuensinya, pilihannya itu saya harus betul-betul belikan.''

Mengenal proses Vonny yang bergelut di bisnis hotdog ini sudah mengenalkan dunia kerjanya pada Claudia. Gadis mungil itu mengerti bahwa ayah ibunya sering melakukan meeting bersama para staf. Dia juga bertanya, daging hotdog dijual berapa? Uangnya bisa beli apa? ''Nanti kalau sudah besar mau dagang hotdog juga ah,'' ujar Vonny menirukan ucapan Claudia.

Lewat percakapan itu, Claudia belajar memahami hubungan antara bekerja dan uang. Ia menjadi tahu bahwa jika ingin mendapatkan sesuatu harus dibeli dulu dengan uang, dan untuk mendapatkan uang harus didului dengan bekerja. Vonny sendiri belum menganggap keinginan Claudia berdagang hotdog itu sebagai ucapan serius. ''Claudia suka melukis, dia tidak harus dagang nantinya,'' kata ibu muda ini. Namun, Vonny dan sang suami sependapat bahwa anak mereka perlu dasar yang berguna saat ia menjadi wiraswastawan, dokter, ataupun karyawan sebuah perusahaan sekalipun.

Namun, ada banyak keuntungan dengan mendorong dan mendukung anak untuk memiliki kualitas kewirausahaan dan terlibat dalam dunia itu. Bila berhasil, ia akan mendapatkan uang. Kendatipun tak menjadi jutawan cilik, banyak keuntungan lain yang tersembunyi. Anak belajar keterampilan mengatur keuangan, lebih memahami realitas ekonomi, mengembangkan etika kerja yang kuat, belajar mengatur waktu, orang, dan sumber-sumber, dan memahami nilai uang.

Tak cuma itu. Anak belajar mengambil peluang, kreatif, dan bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri. Yang paling penting, kata Carrie B Kisker dari Kauffman Center for Entrepreneurial Leadership Clearinghouse on Entrepreneurship Education, AS, ''Anak mendapatkan perasaan berhasil yang datang dari rasa tahu bahwa mereka melakukan sesuatu yang konstruktif sendiri.'' Inilah, mungkin, alasan terkuat untuk mendidik wirausahawan muda.

Fakta Angka
25 persen
Anak TK menunjukkan kualitas kewirausahaan.
3 persen
Anak tamat SMA aktif menggunakan keterampilan wirausaha.


 


Sumber : Republika.co.id

1 komentar:

Unknown mengatakan...

mampir kang uki..ka ozyeuh.blogspot.com